Suasana hening dan syahdu menyelimuti Gereja St. Alfonsus Maria de Liguori Nandan, Sleman, dalam perayaan Jumat Agung pada Jumat (18 April 2025). Hujan yang turun sejak sore hari menambah nuansa kesedihan dan permenungan yang mendalam saat umat Katolik mengenang sengsara dan wafat Yesus Kristus di kayu salib—peristiwa puncak kasih Allah kepada umat manusia.
Meskipun hujan mengguyur wilayah sekitar gereja, ribuan umat tetap hadir dengan penuh penghayatan. Sebagian besar mengenakan jas hujan dan membawa payung, terutama mereka yang mengikuti dari halaman gereja karena keterbatasan kapasitas dalam gedung utama. Kehadiran umat dalam kondisi cuaca yang kurang bersahabat menjadi cerminan iman yang teguh dan kerinduan mendalam akan makna salib Kristus. Beberapa umat bahkan datang lebih awal untuk mendapatkan tempat duduk di dalam gereja, menunjukkan kesiapan batin mereka untuk turut serta dalam perayaan suci ini. Anak-anak, remaja, hingga orang tua tampak mengenakan pakaian gelap sebagai simbol duka, duduk dengan tenang dan penuh hormat.
Perayaan Jumat Agung yang merupakan bagian dari Tri Hari Suci berlangsung tanpa perayaan Ekaristi. Liturgi terdiri dari tiga bagian utama: Liturgi Sabda, Penghormatan Salib, dan Komuni Kudus. Seluruh rangkaian dijalankan dalam suasana sunyi dan kontemplatif, tanpa iringan musik, menandai kesedihan Gereja atas wafatnya Sang Penebus. Doa-doa umat dilantunkan dengan penuh khidmat, mencerminkan kepedihan sekaligus pengharapan akan kebangkitan. Bacaan Kitab Suci yang dikumandangkan mengantar umat pada permenungan yang mendalam tentang penderitaan dan kematian Yesus.
Liturgi dipimpin oleh Rm. A. G. Luhur Pribadi, Pr., dan dimulai pukul 15.00 WIB, berlangsung hingga sekitar pukul 17.15 WIB. Dalam homilinya, Romo Luhur mengajak umat untuk merenungkan lebih dalam peran Yudas Iskariot dalam kisah sengsara Tuhan. Yudas dilihat dari dua sisi: di satu sisi, tindakannya mengantar Yesus pada salib memungkinkan terlaksananya karya penyelamatan; namun di sisi lain, ia juga menjadi simbol pengkhianatan karena rela menyerahkan Gurunya demi tiga puluh keping perak. Dari refleksi ini, umat diajak untuk belajar bertobat, memaknai sengsara Tuhan Yesus, dan merenungkan peran diri masing-masing dalam kehidupan iman sehari-hari. Pertobatan menjadi pintu masuk untuk kembali kepada kasih Tuhan yang tak pernah menolak siapa pun yang ingin kembali.
Romo juga mengingatkan bahwa dalam setiap diri manusia ada potensi untuk menjadi seperti Yudas, namun juga ada harapan untuk menjadi seperti Petrus yang menyesali kesalahannya dan kembali kepada Tuhan. Homili ini menjadi cermin bagi umat untuk mengevaluasi relasi mereka dengan Tuhan dan sesama, terutama dalam masa tobat ini.
Saat penghormatan salib, umat maju dengan tertib dan hening untuk membungkuk atau berlutut di hadapan salib suci, tanpa menciumnya. Tindakan ini tetap menjadi lambang penghormatan dan penyerahan diri, seraya mengenang kasih Kristus yang begitu besar dalam pengorbanan-Nya. Hening yang menyelimuti ruangan pada saat penghormatan salib begitu menyentuh hati, menciptakan suasana reflektif yang dalam. Banyak umat terlihat menitikkan air mata, membiarkan diri mereka tersentuh oleh cinta Allah yang nyata dalam penderitaan Putra-Nya.
Perayaan dilanjutkan dengan penerimaan Komuni Kudus yang telah dikonsekrasi pada Kamis Putih. Liturgi diakhiri tanpa berkat penutup, sebagai simbol duka mendalam atas wafatnya Kristus. Gereja tetap dalam keadaan hening, tanpa lilin yang menyala, mencerminkan kekosongan dan kesedihan dunia atas wafatnya Sang Juru Selamat. Umat meninggalkan gereja dalam diam, dengan langkah pelan dan hati yang dipenuhi semangat pertobatan, siap menyambut kebangkitan Tuhan dalam Vigili Paskah.
Perayaan Jumat Agung ini menjadi momen yang sangat bermakna bagi seluruh umat. Tidak hanya sebagai bentuk penghormatan terhadap wafat Kristus, tetapi juga sebagai kesempatan untuk memperbarui iman dan memperdalam relasi pribadi dengan Tuhan. (KRI)
Video Reels Jumat Agung
0 Komentar