Paroki Sebaiknya Kita Wujudkan Sebagai “Sekolah Non-Formal OMK”

Menurut buku terbitan  Komisi Kepemudaan KW tahun 2014I: “Sahabat Sepeziarahan – Pedoman Karya Pastoral OMK Indonesia” , halaman 105, dikatakan sbb:

“Paroki, dengan mengacu pada KHK kanon 515, adalah tempat jemaat lokal berkumpul, berbagi iman dan ikut serta dalam hidup, perayaan, kebersamaan, dan pelayanan bersama. Gereja, meskipun bersifat universal, menemukan bentuknya yang paling jelas dalam wujud paroki; karenanya paroki bisa disebut ‘Gereja lokal’. Paroki menjadi latar pastoral OMK karena paroki melayani reksa pastoral umat dalam wilayah yang tertentu; di mana satu di antaranya (dalam jumlah yang cukup besar) adalah OMK”. Tentu saja OMK di sini ialah orang muda berusia 13-35 lajang dan beragama Katolik. Tentu saja mereka bisa  sudah ikut dalam komunitas-komunitas seperti Putra Altar, Persekutuan Doa, dan komunitas lain dalam paroki, atau bisa pula belum berkomunitas manapun.

“OMK di Indonesia pun umumnya menerima sakramen-sakramen, katekese, dan layanan pastoral lainnya di paroki. Sebagai akibatnya, mereka merasa menjadi bagian atau anggota dari paroki tertentu. Pastoral OMK (bersinergi dengan layanan-layanan pastoral lain) seharusnya membuat OMK merasa tinggal di rumah mereka sendiri, ‘feel at home’, merasa kerasan. Pastoral OMK perlu  membuat program yang mengakomodasi bakat dan peran unik OMK dalam hidup menggereja. OMK memberikan kontribusinya berupa energi, daya hidup, harapan, dan gairah muda mereka”. (ibid).

Dengan dasar itu, saya melihat bahwa di Paroki St Alfonsus Nandan, perlu dilakukan konsep pendampingan sbb:

Bagaikan sekolah, maka paroki adalah “sekolah non-formal”. Seperti halnya sekolah formal, maka mesti ada fungsi-fungsi dalam sekolah non formal itu. Jika dalam sekolah formal ada “Para Siswa”, maka dalam Paroki, mereka  menjadi OMK. Dalam sekolah formal ada “Pengurus OSIS”, maka dalam paroki mereka ialah “pengurus OMK atau pengurus komunitas OMK”. Jika dalam sekolah formal ada guru, maka di paroki  “guru” ialah para pendamping. “Kepala sekolah” tentu saja pastornya. Di sekolah formal ada “Komite sekolah” yang adalah gabungan para orangtua siswa, maka di paroki mesti ada “komunitas Ortu OMK”. Di paroki St ALfonsus Nandan sudah ada “Paguyuban Ortu Putra Altar”, yang bagus jika dilanjutkan ke paguyuban Ortu OMK. Di sekolah ada Dinas Pendidikan atau Yayasan, maka di paroki, Dewan Parokilah yang melaksanakan fungsi itu.

Apa tugas mereka?

OMK sebagai “para siswa” bertugas belajar menggereja: berdoa,  mempelajari iman Katolik, belajar berkomunitas mengembangkan bakat,  serta peduli-berbagi.
Pastor dan Pendamping, sebagai “kepala sekolah dan guru” membuat kurikulum dan program pembinaan OMK selama kurun waktu tertentu dan mendampingi serta melaksanakan pembinaan itu. Tentu mereka pun mesti belajar dari OMK-nya sendiri, mendengarkan dan menjadi sahabat sepeziarahan.
Pengurus OMK sebagai “pengurus OSIS”, mengkoordinir teman-temannya untuk mengarahkan diri pada program pastoral pendampingan OMK yang dibuat pastor dan pendamping.
Paguyuban Ortu sebagaimana “komite sekolah”, memfasilitasi program-program agar makin bagus berjalanny, serta memberi usulan-usulan kepada pastor dan pendamping.

Demikianlah ide saya.
Hormat kami
Romo Yohanes Dwi Harsanto
Paguyuban Ortu, sebagai “komite sekolah” memfasilitasi

Posting Komentar

0 Komentar