BISA April 2016
Bersama V. Indra
Sanjaya, pr
Pendahuluan
Kalau
kita sedikit mengingat masa-masa di Sekolah Minggu atau ketika menjelang tidur
mendengarkan Oma mendongeng, mungkin yang tersisa dalam ingatan kita adalah
kisah-kisah, seperti kisah Adam dan Hawa, atau kisah Adam dan Hawa dan buah
terlarang, atau kisah Kain dan Habel, atau bahtera Nuh, atau Abraham yang mau
mengurbankan Ishak anaknya, atau kisah penyeberangan Laut Teberau, atau Daud
yang mengalahkan raksasa Goliat, atau kisah Daud dan Betsyeba, dsb., dsb. Jelas
itu adalah kisah-kisah terkenal yang terdapat dalam Perjanjian Lama. Mungkin
kita cukup hafal cerita-cerita seperti itu. Dan kalau ditanya apa pesan moral
dari masing-masing kisah itu, kita pun mungkin mampu menjawabnya. Tetapi
sekarang ini kita ditanya apakah kita membaca sendiri kisah-kisah tersebut atau
secara lebih umum, apakah kita membaca – apalagi seluruh - Perjanjian Lama,
mungkin jawabannya negatif.
Galeri foto klik disini
Harus diakui bahwa tampaknya tidak banyak
orang Katolik yang membaca Perjanjian Lama secara serius. Ada berbagai alasan
yang bisa dikemukakan. Salah satu di antaranya adalah bahwa tulisan-tulisan
Perjanjian Lama sulit dipahami. Alasan ini mungkin ada benarnya untuk sebagian,
tetapi rasanya juga tidak seluruhnya benar. Bagian-bagian yang berbentuk narasi
atau cerita, rasanya bisa diikuti dengan cukup mudah. Demikian juga beberapa
bagian dari Kitab Amsal. Sementara nubuat-nubuat kenabian mungkin terasa tidak
mudah diikuti dan dipahami, terutama karena bahasa yang digunakan adalah bahasa
puisi.
Pada kesempatan yang relatif singkat ini,
saya diminta untuk berbicara tentang tulisan-tulisan Perjanjian Lama yang
berjumlah (berapa?) kitab ini. Saya yakin bahwa tulisan-tulisan Perjanjian Lama
ini bisa diletakkan dalam sebuah kerangka yang utuh. Inilah yang coba saya
sampaikan dalam kesempatan ini. Harapan saya, kalau kita bisa menempatkan
masing-masing tulisan dalam konteks yang lebih luas, maka kita akan lebih mudah
memahaminya. Tetapi sebelum kita memasuki pembicaraan lebih mendetil, mungkin
baik kalau disajikan lebih dulu sebuah pengantar singkat tentang Perjanjian
Lama.
PERJANJIAN LAMA: Apa
itu?
Secara
garis besar, kita sudah tahu apa yang dimaksud dengan tulisan-tulisan
Perjanjian Lama. Kita tahu bahwa Perjanjian Lama, bersama dengan Perjanjian
Baru membentuk Alkitab Kristen. Tetapi mengapa disebut Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru? Dua kata sifat yang dipakai di
sini ‘lama’ dan ‘baru’ merupakan dua kata yang bersifat relasional. Artinya
kata ‘lama’ secara intrinsik menunjuk atau berkaitan dengan kata ‘baru’. Relasi
ini ternyata tidak bebas nilai. Kata yang satu mempunyai nuansa lebih dari yang
lain. Sudut pandang (konsumerisme) modern tampaknya dicirikan dengan perlombaan
menuju yang lebih baru, lebih modern, lebih mutakhir. Sementara cara pandang
lama, terungkap dalam rumusan better is
old wine than new. Jelas bahwa kata
‘baru’ secara implisit dianggap membawa pula nuansa lebih baik, up to date, lebih modern; sementara kata
‘lama’ membawa pemahaman usang, out of
date, tidak terpakai lagi, dsb.
Dari mana istilah seperti ini
muncul? Bukankah Yesus dan orang-orang sezamannya menyebut Perjanjian Lama
cukup dengan kata Kitab Suci? Siapa yang memulai istilah baru ini? Tentu tidak
mudah untuk menentukan kapan untuk pertama kalinya dipakai istilah yang khas
ini. Yang jelas istilah itu sudah terdapat dalam 2Kor 3,14 (he palaia
diatheke) dan menunjuk pada tata penyelamatan lama yang didasarkan pada
Hukum Taurat. Di luar zaman alkitabiah, sejauh bisa dilacak istilah Perjanjian Lama digunakan pertama kali oleh Melito
dari Sardis (ca. 170) dalam tulisan yang biasa disebut The Book of Extract di mana di dalamnya terdapat daftar
tulisan-tulisan Perjanjian Lama yang dianggap berwibawa. Tulisan ini biasa
disebut kanon Perjanjian Lama menurut Melito. Sementara istilah Perjanjian Baru
(berit haddashah atau kaine diatheke) bisa ditemukan di banyak
tempat di dalam Alkitab. Ungkapan ini terdapat dalam Yer 31,31; Luk 22,20; 1Kor
11,25; 2Kor 3,6; Ibr 8,8; 9,15). Tertulianus biasanya dianggap orang pertama
yang menggunakan kata ini dalam Against
Praxeas XV untuk menunjuk kumpulan tulisan yang dianggap kudus oleh orang
Kristen.
Ada berapa kitab-kitab Perjanjian
Lama itu? Nah...untuk pertanyaan ini tidak ada jawaban yang seragam. Tergantung
siapa yang ditanya. Kalau kita bertanya pada seorang Protestan, dia akan
menjawab 39 kitab; tetapi kalau kita bertanya kepada seorang Katolik, jawaban
yang keluar adalah 46 kitab. Kelompok Kristen lain, seperti misalnya kelompok
Ortodoks Yunani, atau Ethiopia, atau yang lain, mempunyai jumlah yang berbeda
lagi. Lalu mengapa tradisi Katolik mempunyai 7 kitab lebih banyak dari
Protestan? Darimana itu? Tujuh kitab itu biasanya dikenal dengan
tulisan-tulisan Deuterokanonika, yang terdiri dari : Yudit – Tobit –
Kebijaksanaan Salomo – Ben Sirakh – Barukh – 1-2 Makabe. Kemudian masih ada
juga, tambahan pada kitab Ester dan tambahan pada kitab Daniel (Dan 3,24-90;
Dan 13-14). Dalam Alkitab kita, tulisan-tulisan Deuterokanonika ini diletakkan
secara tersendiri di antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, karena memang
demikianlah kesepakatan antara UBS dengan Tahta Suci, yang juga diikuti oleh
LAI dan MAWI (pada waktu itu). Kalau kita melihat aslinya (misalnya, Kitab Suci
Katolik Edisi Pelita yang tebal), maka tulisan-tulisan Deuterokanonika ini
terdapat di antara Perjanjian Lama, tersebar di antara tulisan-tulisan lainnya.
Tetapi untuk praktisnya, maka pada kesempatan yang amat singkat ini, kita hanya
akan membahas 39 tulisan yang terdapat dalam Perjanjian Lama. Tulisan-tulisan
Deuterokanonika, meskipun merupakan bagian integral dari Perjanjian Lama
Katolik, biasanya dibahas tersendiri. Semoga suatu waktu kita sempat
mempelajarinya juga atau, paling tidak, diusahakan untuk membacanya. Jangan sampai
terjadi kekayaan khas kita sendiri justru tidak pernah disentuh.
PANGGUNG PERJANJIAN
LAMA
Salah
satu tema yang menjadi benang merah dalam Perjanjian Lama adalah Tanah
Terjanji. Oleh karena itu rasanya baik kalau kita memperhatikan sejenak lokasi
Tanah Terjanji ini dalam konteks geografis yang lebih luas. Kalau kita
perhatikan, daerah yang memunculkan tulisan-tulisan Perjanjian Lama yang
mempunyai pengaruh luar biasa, juga mempunyai lokasi yang istimewa. Biasanya,
daerah itu disebut daerah “Bulang Sabit yang Subur” (Fertile Crescent). Mengapa demikian? Kalau kita memperhatikan,
tampak bahwa daerah yang dimaksud berbentuk bulan sabit; ujung yang satu ada di
Mesir, ujung yang lain ada di daerah Mesopotamia. Daerah Mesir dan Mesopotamia
adalah daerah yang terberkati karena aliran sungai sehingga membuat daerah
tersebut, khususnya di sepanjang sungai, menjadi daerah yang subur. Di Mesir
ada Sungai Nil; di Mesopotamia ada Sungai Efrat dan Tigris. Nama Mesopotamia
sendiri berasal dari kata mesos dan potamos, yang artinya (daerah) di antara
sungai-sungai. Adanya aliran sungai ini memungkinkan kehidupan. Tidak
mengherankan jika peradaban kuno dimulai dan berkembang di Mesir dan
Mesopotamia.
Dua daerah yang menjadi pusat
peradaban dunia ini dipisahkan oleh gurun pasir yang hampir tidak mungkin
dilewati. Oleh karena itu, satu-satunya jalur yang menghubungkan Mesir dan
Mesopotamia adalah daerah Kanaan (atau Palestina, atau Israel). Karena letaknya
yang di dekat Laut Mediterania dan dibantu dengan adanya aliran Sungai Yordan,
daerah Palestina ini juga menjadi daerah
yang relatif cukup subur dan memungkinkan untuk didiami. Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa Palestina berada di tengah-tengah, di antara
Mesir dan Mesopotamia. Tidak hanya itu, daerah Palestina juga menjadi jalur
yang menghubungkan Mesir dan Asia Kecil (Turki sekarang). Apa akibatnya bagi Palestina? Satu hal saya kira
menjadi jelas, karena posisinya yang demikian ini maka jelas bahwa
daerah Palestina menjadi daerah yang selalu diperebutkan, setidak-tidaknya oleh
Mesir dan Mesopotamia. Kita bisa melihat dalam Perjanjian Lama, bagaimana Mesir
dan Mesopotamia silih berganti memasuki sejarah kehidupan bangsa Israel. Karena
daerah Kanaan merupakan daerah yang kecil dan miskin, maka tidak mengherankan
bahwa daerah ini sepanjang sejarah hampir selalu berada di bawah pemerintahan
asing. Dalam situasi dan kondisi seperti ini tidak mengherankan jika perang
menjadi satu tema yang cukup banyak muncul dalam Perjanjian Lama.

Pemahaman
mengenai dunia yang menjadi panggung tulisan-tulisan Perjanjian Lama ini
rasanya diperlukan untuk bisa menangkap makna tulisan-tulisan tersebut.
Misalnya, mengapa di dalam Perjanjian Lama perempuan mandul dianggap terkutuk
sementara banyak anak dianggap berkat? Silakan membayangkan situasi abad
pertama di daerah yang tidak terlalu subur ini. Penyakit dan kekurangan pangan
jelas menjadi masalah besar. Pertumbuhan populasi menjadi amat lamban;
sementara itu perang senantiasa menjadi bahaya. Untuk bisa menghadapi musuh
diperlukan pasukan yang kuat, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Oleh
karena itu dibutuhkan pertumbuhan penduduk yang cepat. Dilihat dari perspektif
seperti itni, maka perempuan mandul dianggap terkutuk karena tidak bisa
menyumbang atau ikut serta membantu pertumbuhan jumlah penduduk. Dan masih
banyak lagi yang bisa kita manfaatkan dari informasi tentang panggung tulisan
Perjanjian Lama ini.
MEMBACA PERJANJIAN
LAMA
Bagaimana
kita bisa membaca 39 tulisan Perjanjian Lama ini? Kalau cuma asal membaca, ya
orang bisa saja memulai membaca begitu saja. Tetapi apakah kita bisa membacanya
dalam sebuah kerangka tertentu? Saya kira bisa; dan itu yang mau saya tawarkan
di sini. Untuk mudahnya, tulisan-tulisan Perjanjian Lama ini kita bagi menjadi
3 (tiga) kelompok berdasarkan isinya, yaitu:
a. Kitab-kitab sejarah
yang terbagi menjadi tiga:
b. Kitab Nabi-nabi
c. Kitab-kitab Hikmat
atau Sastra Kebijaksanaan
A. KITAB-KITAB SEJARAH
Pada
dasarnya Alkitab berbicara tentang relasi antara Allah dan manusia dengan
segala dinamikanya. Relasi ini hanya mungkin terjadi jika Allah ‘turun’ dan
masuk dalam sejarah umat manusia. Yang sebaliknya, yaitu manusia yang ‘naik’
dan masuk dalam sejarah Allah adalah sesuatu
yang mustahil. Secara konkret, dalam Alkitab dikisahkan sejarah relasi
antara Allah dan bangsa Israel. Oleh karena itu, sesuai dengan judulnya, kitab-kitab
yang termaksud di dalam kelompok pertama ini mengisahkan sejarah bangsa Israel,
mulai dari tahap persiapan sampai dengan akhinya. Sebenarnya ada 3 (tiga) tahap
sejarah yang berbeda. Oleh karena itu, untuk mudahnya kita membagi bagian ini
menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu:
1. sejarah asal usul dunia;
2. sejarah asal-usul Israel
3. sejarah Kerajaan Israel
1. Sejarah Asal Usul Dunia:
Relasi
Allah dan manusia terjadi ketika Allah menghubungi manusia dan masuk dalam
sejarah manusia. Oleh karena itu, sebelum segala-galanya, maka perlulah dunia
yang akan menjadi panggung sejarah ini diciptakan. Bagian ini mencakup Kitab Kejadian bab 1-11. Sebagian besar dari kisah yang ada di sana
sebenarnya sudah kita kenal. Kej 1
menyampaikan sebuah permenungan tentang alam semesta. Alam semesta adalah baik
adanya (refrein yang selalu kembali) dan Allah adalah Sang Pencipta. Tidak
perlu refleksi ini dianggap sebagai laporan historis atas penciptaan alam
semesta. Juga tidak perlu teks seperti ini diperlawankan misalnya, dengan teori
Big Bang. Kej 2 memuat kisah
penciptaan dalam versi yang lain. Manusia yang Ia ciptakan ditempatkan di Taman
Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu (2,8.15). Satu perintah
diberikan kepada manusia dalam ay. 16-17: larangan untuk memakan buah
pengetahuan yang baik dan yang jahat. Pada akhir kisah (3,23) manusia yang
tadinya ditempatkan Tuhan di taman Eden, ternyata malah sekarang diusir.
Mengapa? Karena mereka melanggar perintah Allah yang terdapat dalam 2,16-17.
Ini diceritakan dalam Kej 3. Pola
ini menjadi pola dasar yang selalu muncul dalam seluruh Alkitab: menaati
perintah Allah, selamat didapat; melanggar perintah Allah, kutuk yang
diperoleh.
Kej
4-11 menceritakan berbagai silsilah yang menunjukkan bahwa sejarah
berlangsung terus. Di antara kisah itu, ada kisah tentang Nuh dan air bahnya
(Kej 6-9). Polanya tetap sama: manusia yang diciptakan Allah ternyata berjalan
semau mereka sendiri sehingga mengkhianati Allah. Ini membuat Allah menyesal
dan memutuskan menghancurkan semesta ciptaan-Nya sendiri kecuali satu orang
saja, yaitu Nuh sekeluarga. Dengan Nuh inilah Allah mengadakan lagi
perjanjian-Nya.
"Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang
ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan
membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan" (Kej
8,21). Setelah ini ada beberapa silsilah yang menggambarkan perjalanan sejarah
umat manusia.
2. Sejarah Asal-usul
Israel
Mulai Kej
12 praktis kita diajak masuk ke dunia real. Dari sekian banyak suku umat
manusia, kini perhatian diarahkan kepada satu keluarga yaitu keluarga Terah (11,24-32).
Abraham dipanggil Tuhan dan kepadanya diberikan dua janji: janji anak (Kej
12,2) serta tanah (Kej 12,7). Kalau ada janji seperti ini, maka sudah
sewajarnya kalau orang berpikir tentang pemenuhannya. Orang menjadi semakin
ingin tahu karena ada keterangan yang membuat pemenuhan janji ini seperti
mustahil. Bagaimana mungkin kepada Abraham dijanjikan keturunan sementara Sarah
itu mandul (Kej 11,30)? Bagaimana mungkin kepada Abraham dijanjikan tanah
sementara dalam 12,6b dikatakan bahwa "Waktu itu orang Kanaan diam di
negeri itu"? Apakah memang mungkin terjadi hal seperti yang dijanjikan
Allah? Persis inilah sebenarnya yang menjadi perjuangan Abraham dan seluruh
bangsa Israel. Seluruh Pentateukh atau Kitab Taurat Musa sebenarnya bercerita
tentang pergulatan Abraham dengan janji Allah ini.
Kej
12,10 merupakan titik tolak pergulatan Abraham dengan janji Allah tentang
keturunan. Sungguh suatu yang menarik kalau kita mengikuti bagaimana hari demi
hari Abraham berusaha menafsirkan janji Allah itu. Karena Sara istrinya
jelas-jelas mandul, Abraham mungkin mengartikan bahwa 'anak' tidak harus
dipahami secara biologis-harafiah, tetapi pewarisnya atau budaknya. Oleh karena
itu, dalam Kej 15 Abraham berfikir
bahwa pewarisnya adalah Eliezer orang Damsyik (15,2). Bab berikutnya, Kej 16 sekali lagi menunjukkan
pergulatan Abraham dan Sara. Mungkin
'anak' yang dimaksud adalah anak secara hukum yang ia peroleh dari Hagar, hamba
Sara. "Engkau tahu, TUHAN tidak memberi aku melahirkan anak. Karena itu
baiklah hampiri hambaku itu; mungkin oleh dialah aku dapat memperoleh seorang
anak" (16,2). Ternyata tidak demikian yang dikehendaki Allah. Yang
dimaksudkan sebagai anak perjanjian adalah anak yang lahir dari Abraham dan
Sara. Titik. Dan setelah perjuangan
panjang Abraham, akhirnya Ishak lahir (21,1-3). Inilah anak perjanjian yang
telah dua puluh lima tahun dinantikan (bdk. Kej 12,4 dan 21,5). Dengan
kelahiran Ishak, janji keturunan terpenuhi.
Belum
habis kegembiraan Abraham dan Sara, datanglah perintah Tuhan yang aneh dalam
22,1-2. Anak yang dinanti-nantikan itu diminta kembali oleh Tuhan.
"Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak,
pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran
pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu" (Kej 22,2). Bisa
dibayangkan apa yang terjadi pada Abraham. Mungkin ada raja jengkel, kecewa dan
perasaan lain. Meskipun begitu, kita tahu bahwa Abraham mentaati perintah Tuhan
itu untuk mempersembahkan Ishak sebagai kurban bakaran. Tetapi tepat pada saat
yang menentukan, ketika Abraham "mengulurkan tangannya, lalu mengambil
pisau untuk menyembelih anaknya" (22,10), malaekat Allah campur tangan dan
membatalkan segalanya. Demikialah, janji keturunan yang pernah disampaikan
kepada Abraham terpenuhi dengan lairnya Ishak. Tetapi bagaimana dengan janji
tanah?
Janji
akan tanah ternyata masih belum terlaksana juga. Kepada keturunan Abraham,
yaitu Ishak dan Yakub janji itu diulang kembali. Kepada Ishak, janji akan tanah
itu diulangi pada 26,3-4. Sementara kepada Yakub, janji diulangi dalam 28,13-14;
35,11-12. Ternyata dalam diri mereka pun, janji itu belum kelihatan
pelaksanaannya. Bagian terakhir kitab Kejadian, Kej 37-50 berbicara merupakan sebuah kisah panjang tentang salah
satu anak Yakub, yaitu Yusuf yang disingkirkan oleh saudara-saudaranya tetapi
justru menjadi penguasa Mesir. Suatu blessing
in disguise. Kisah Yusuf yang menjadi boss di Mesir ini ternyata akhirnya
membuat seluruh keluarga besar Yakub datang dan tinggal di Mesir (46,6-7). Di
satu pihak, ini adalah happy ending:
Yakub berjumpa dengan Yusuf yang sudah dianggap mati dan mereka tinggal di
daerah mapan. Tetapi di lain pihak, mereka justru menjauhkan diri dari tanah
terjanji. Semakmur apa pun Mesir, ini bukan tanah yang dijanjikan Alah. Dengan
berangkatnya Yakub sekeluarga ke Mesir untuk menetap di sana, janji tanah
tampaknya semakin jauh dari realisasinya.
Yusuf
pada saat menjelang akhir hayatnya berkata, "Tidak lama lagi aku akan
mati; tentu Allah akan memperhatikan kamu dan membawa kamu keluar dari negeri
ini, ke negeri yang telah dijanjikan-Nya dengan sumpah kepada Abraham, Ishak
dan Yakub." Lalu Yusuf menyuruh
anak-anak Israel bersumpah, katanya: "Tentu Allah akan memperhatikan kamu;
pada waktu itu kamu harus membawa tulang-tulangku dari sini" (50,24-25).
Dengan demikian jelas bahwa kitab Kejadian mesti disambung kisah lainnya.
Israel mesti keluar dari Mesir dan kembali ke tanah Kanaan.
Bagian
berikutnya Kel 1-15 menceritakan
bagaimana bangsa Israel di bahwa pimpinan Musa, akhirnya keluar dari Mesir
secara definitif dengan menyeberangi Laut Teberau (14,15-31). Tahap pertama
dari yang dikatakan Yusuf sudah terlaksana. Tetapi kalau kita ikuti, tampak
bahwa keluarnya bangsa Israel dari Mesir merupakan proses yang panjang. Diawali
dengan panggilan Musa, “Jadi sekarang, pergilah,
Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar
dari Mesir" (Kel 3,10). Tidak mudah bagi Musa untuk meminta Firaun agar
melepas bangsa Israel keluar dari Mesir. Dalam Kel 7-11 kita temukan kisah
tentang tulah-tulah yang dimaksudkan sebagai unjuk kekuatan antara Musa, yang
bertindak atas nama YHWH untuk memaksa Firaun Mesir melepaskan bangsa Israel
meninggalkan Mesir. Barulah setelah tulah kesepuluh, yaitu Anak sulung Mesir
dihajar (Kel 12,29-42) maka Firaun akhirnya melepaskan Israel pergi. Bahkan
sekarang, orang Mesir justru “mendesak dengan keras kepada bangsa itu, menyuruh
bangsa itu pergi dengan segera dari negeri itu” (Kel 12,33). Mereka yang
berangkat berjumlah kira-kira 600.000 orang laki-laki, tidak termasuk anak-anak
(12,37 bdk. 1,5 yang mengatakan bahwa keturunan Yakub jumlahnya hanya 70
orang). Dan lama mereka tinggal di Mesir adalah 430 tahun (Kel 12,40).
Bangsa Israel bersama Musa melintasi padang gurun untuk
pergi ke Kanaan. Kemudian dikatakan bahwa pada bulan ketiga mereka sampai di
padang gurun Sinai (Kel 19,3). Nah...di sinilah mereka mendapatkan sebuah
pengalaman akan Allah yang luar biasa. YHWH Allah Israel yang membebaskan
bangsa Israel keluar dari Mesir, kini menawarkan sebuah relasi yang lebih dekat
dengan bangsa Israel, yaitu sebuah relasi perjanjian, yang kemudian dikenal
dengan sebutan Perjanjian Sinai (Kel 24,1-9).
Pengalaman akan Allah di Gunung Sinai ini lalu dirumuskan
dalam bentuk relasi perjanjian yang oleh para ahli disebut Perjanjian Vassal. Perjanjian
vassal adalah sebuah perjanjian antara dua pihak yang tidak sederajat, yaitu
seorang maharaja dan raja-raja bawahannya. Sang maharaja berkewajiban
melindungi raja-raja vassal yang menjadi bawahannya. Sementara raja-raja vassal
mesti tunduk pada sang maharaja dengan menaati aturan yang ditentukan serta
juga membayar upeti kepada sang maharaja. Ketaatan akan menghasilkan berkat;
sementara ketidaktaatan akan mendatangkan malapetaka. Dalam perspektif seperti itu,
kita melihat bahwa aturan-aturan yang mesti ditaati oleh bangsa Israel terdapat
dalam Kel 20-23. Silakan
diperhatikan bahwa Kel 20,1-17 memuat apa yang biasa disebut dengan Dasa Firman
atau Sepuluh Perintah Allah. Setelah perintah yang lebih bersifat perintah
moral, kemudian disampaikan perintah lain yang berbeda karakternya, yaitu
perintah untuk membangun Kemah Suci dan segala kelengkapannya (Kel 25-31).
Dalam mitologi kuno, setelah mahadewa menciptakan alam
semesta dan suatu umat baginya, mahadewa lalu mendirikan sebuah kuil di antara
umatnya untuk menjadi tempat tinggalnya. Di sini kita melihat kemiripan antara
kisah YHWH dan bangsa Israel dengan mitologi kuno. Setelah menciptakan alam
semesta yang akan menjadi tempat tinggal bagi umat-Nya dan kemudian kemudian
mengikat perjanjian dengan suatu umat yang kemudian menjadi umat milik-Nya,
kini YHWH, Allah Israel memerintahkan umat-Nya untuk membangun suatu kediaman
yang nantinya akan menjadi tempat tinggal YHWH. Sebenarnya bangsa Israel bisa
segera menaati perintah YHWH dengan mulai membangun Kemah Suci. Tetapi apa yang
terjadi? Baru saja bangsa Israel mengikat janji setia dengan YHWH, mereka sudah
berlaku tidak setia dengan membuat patung anak lembu emas (Kel 32). Hal ini tentu saja menimbulkan kemarahan YHWH. “Oleh sebab
itu biarkanlah Aku, supaya murka-Ku bangkit terhadap mereka dan Aku akan
membinasakan mereka, tetapi engkau akan Kubuat menjadi bangsa yang besar"
(32,10). Bagian pertama menggambarkan murka YHWH; sementara dalam bagian kedua
YHWH mau mencari pengganti umat yang akan dibinasakannya dari Musa.
Di sinilah Musa tampil sebagai pemimpin bangsa yang
sungguh-sungguh membela kepentingan bangsa Israel. Di hadapan YHWH Musa berani
mati-matian membela dan memperjuangkan bangsa Israel. Karena kepengataraan Musa
ini akhirnya murka YHWH mereda dan perjanjian dipulihkan (Kel 32-34). Baru setelah semuanya selesai, pembangunan Kemah
Perjanjian bisa dimulai dan akhirnya diselesaikan (Kel 36-40).
Pada akhir Kitab Keluaran, kita membaca teks seperti
berikut:
34 Lalu awan itu menutupi
Kemah Pertemuan, dan kemuliaan TUHAN memenuhi Kemah Suci, 35 sehingga Musa
tidak dapat memasuki Kemah Pertemuan, sebab awan itu hinggap di atas kemah itu,
dan kemuliaan TUHAN memenuhi Kemah Suci. 36 Apabila awan itu naik dari atas
Kemah Suci, berangkatlah orang Israel dari setiap tempat mereka berkemah. 37
Tetapi jika awan itu tidak naik, maka mereka pun tidak berangkat sampai hari
awan itu naik. 38 Sebab awan TUHAN itu ada di atas Kemah Suci pada siang hari,
dan pada malam hari ada api di dalamnya, di depan mata seluruh umat Israel pada
setiap tempat mereka berkemah.
Digambarkan bagaimana
setelah semua selesai, YHWH turun dan tinggal di dalam Kemah Suci. YHWH tidak
lagi tinggal di gunung Sinai (bdk. Kel 19,3), tetapi berada di bawah, di dalam
Kemah Suci. Dengan demikian, YHWH tinggal di Kemah Perjanjian atau di
tengah-tengah umat-Nya. Oleh karena itu, kitab Imamat dibuka dengan kalimat
seperti ini: “Tuhan memanggil Musa dan berfirman kepada nya dari dalam Rumah
Pertemuan” (Im 1,1).
Kehadiran Allah di tengah-tengah umat-Nya mau tidak mau
mempengaruhi tata cara bagaimana orang sekitarnya mesti hidup. Allah adalah
maha kudus, oleh karena itu umat yang bersama-sama YHWH juga mesti menyesuaikan
diri. “jadilah kudus, sebab Aku ini kudus” (Im 11,45). Untuk mengusahakan
kekudusan seperti itu, kepada bangsa Israel diberikan Kitab Imamat. Dengan kata lain, seluruh kitab Imamat sebenarnya
berisi tuntunan bagaimana bangsa Israel harus hidup bersama YHWH dengan menjaga
kekudusannya. Ketika kekudusan itu dilanggar atau tanpa sengaja terlanggar
perlu ada mekanisme tertentu untuk memulihkannya. Mekanisme kurban yang diatur
begitu detil terutama dalam Kitab Imamat mesti dilihat dari perspektif ini. Hari
Raya Pendamaian yang diceritakan dalam Im 16 merupakan ritus pembersihan dosa
yang paling penting. Pada hari itu, Imam Agung mewakili seluruh bangsa,
meletakkan tangan di atas kepala kambing jantan dan “mengakui di atas kepala
kambing itu segala kesalahan orang Israel dan segala pelanggaran mereka, apa
pun juga dosa mereka; ia harus menanggungkan semuanya itu ke atas kepala
kambing jantan itu dan kemudian melepaskannya ke padang gurun dengan
perantaraan seseorang yang sudah siap sedia untuk itu” (Im 16,21).
Kitab Imamat seringkali dianggap sebagai kitab yang
terlalu kultis atau terlalu banyak bicara tentang kekudusan kultis. Tetapi jika
kita membaca dengan teliti, kita temukan
bahwa perhatian kepada sesame manusia juga mendapatkan porsi yang
penting. Perintah untuk mengasihi sesama seperti diri sendiri yang dikutip oleh
Yesus dalam Injil (Mat 19,19; Mrk 12,31; Luk 10,27) sebenarnya merupakan
kutipan dari kitab Imamat ini (Im 19,18). Juga peraturan tentang Tahun Sabat
dan Tahun Yobel yang sangat bernuansa sosial juga terdapat dalam Kitab Imamat (Im 25).
Kitab Bilangan
dibuka dengan perintah YHWH Musa untuk membuat sensus untuk menghitung laskah
bangsa Israel (Bil 1,1-3). Tampaknya ini merupakan sebuah persiapan untuk mulai
berangkat melanjutkan perjalanan ke Tanah Terjanji. “Pada tahun yang kedua, pada
bulan yang kedua, pada tanggal dua puluh bulan itu, naiklah awan itu dari atas
Kemah Suci, tempat hukum Allah. Lalu berangkatlah orang Israel dari padang
gurun Sinai menurut aturan keberangkatan mereka” (Bil 10,11-12). Dengan
membandingkan ayat ini dengan Bil 1,1 kita tahu bahwa persiapan untuk berangkat
ini memakan waktu dua puluh hari. Sementara itu, kalau kita memperhatikan Kel
19,3 kita tahu bahwa bangsa Israel sampai ke Gunung Sinai pada “bulan ketiga
setelah orang Israel keluar dari tanah Mesir.” Maka bangsa Israel sebenarnya
berada di Gunung atau Gurun Sinai selama kira-kira 10-11 bulan.
Perjalanan mereka diarahkan dan dipimpin oleh YHWH
sendiri yang hadir dalam rupa tiang awan (lihat Kel 40,36-37; Bil 11,33).
Perjalanan ini sebenarnya langsung diarahkan ke Tanah Kanaan. Dalam Bil 13 Musa memerintahkan dua belas
pengintai untuk memata-matai negeri Kanaan yang akan mereka masuki. Ketika para pengintai kembali, mereka
melaporkan bahwa negeri yang mereka intai memang negeri “yang berlimpah-limpah susu
dan madunya” (Bil 13,27); tetapi penduduknya adalah kuat-kuat. Laporan ini
membuat bangsa Israel tawar hati dan tidak mau berperang untuk menduduki negeri
tersebut. Hal ini membuat YHWH murka dan menghukum Israel bahwa mereka harus
berjalan di padang gurun selama 40 tahun (14,28-35). Seandainya mereka taat
kepada YHWH dan maju berperang, bangsa Israel tentu tidak perlu berkeliling di
padang gurun selama satu generasi atau 40 tahun. Tetapi karena tidak taat
mereka dihukum YHWH. Baru pada Bil 26
mulai lagi sesuatu yang baru. Diadakan
lagi sensus – kali ini bangsa yang berbeda karena generasi sebelumnya sudah
hancur – untuk menghitung cadangan tentara.
Perjalanan ke Tanah Terjanji dilanjutkan lagi setelah 40 tahun tertunda.
Dan pada akhir kitab Bilangan, bangsa Israel sampai “di dataran Moab di tepi
sungai Yordan dekat Yerikho” (Bil 36,13).
Setelah ini, orang mungkin berpikir bahwa Kitab Ulangan
akan mengisahkan masuknya bangsa Israel ke Tanah Kanaan sesuai dengan yang
dijanjikan Allah sendiri. Tetapi rupanya tidak demikian, Kitab Ulangan sebenarnya adalah sebuah khotbah terakhir dan
terpanjang dari sang pahlawan, yaitu Musa. Menurut kitab Ulangan, Musa sehari
penuh berkhotbah di hadapan bangsa Israel. Oleh karena itu, pada akhir kitab
Ulangan, bangsa Israel sebenarnya tidak bergerak. Mereka tetap berada “di
seberang Yordan” (Ul 1,1).
Dengan selesainya kitab Ulangan, sebenarnya kita sudah selesai
membaca lima kitab pertama Perjanjian Lama yang biasa disebut Pentateukh atau
Taurat Musa. Sampai di sini kisah asal-usul bangsa Israel boleh dikatakan
selesai. Keturunan Abraham akhirnya menjadi bangsa yang besar. Melalui
Perjanjian Sinai, bangsa Israel menjadi bangsa pilihan YHWH sendiri. Pembacaan
selesai, tetapi kita tahu bahwa ada sesuatu yang masih tertinggal. Janji Allah
kepada Abraham bahwa Ia akan memberikan tanah Kanaan kepada Abraham serta
keturunannya ternyata tidak terlaksana. Kita tahu bahwa janji itu sudah ratusan
tahun umurnya. Lalu kapan terpenuhinya janji ini? Inilah yang kemudian menjadi
topik pembicaraan bagian berikutnya.
dilanjutkan Pertemuan BISA bulan Mei 2016.
0 Komentar