Mendengarkan Untuk Belajar - V. Yudho Widianto, Pr

Refleksi perjalanan pelayanan di Paroki Nandan

Ada pepatah yang mengatakan bahwa “manusia diciptakan dengan dua telinga dan satu mulut agar manusia lebih banyak mendengarkan daripada berbicara”. Mendengar atau mendengarkan seolah-olah menjadi perbuatan yang sederhana dan mudah dilakukan. Pada kenyataannya mendengar atau mendengarkan bukanlah sebuah hal yang mudah untuk dilakukan. Mendengarkan berarti berani melepaskan segala keinginan untuk menguasai, mengajar sekaligus berani menerima ide dan masukan dari orang lain yang sedang berbicara. Sikap untuk mendengarkan itulah yang menjadi salah satu semangat saya dalam menjalani perutusan sebagai pastor pembantu di Paroki Santo Alfonsus Nandan. 

Paroki Nandan adalah paroki pertama bagi saya untuk menjalani perutusan sebagai imam. Sebagai imam baru, yang jarene kinyis-kinyis, saya tahu bahwa banyak hal yang harus saya pelajari. Pelayanan di Nandan memang tidak berlangsung lama, kurang lebih 15 bulan saja, tetapi banyak hal yang saya pelajari. Meskipun sebagai imam, saya sering ditempatkan sebagai narasumber, semangat mendengarkan menjadi salah satu langkah untuk belajar banyak hal. Saya mendengarkan dari banyak orang, baik dari para rekan imam (Rm. Kris dan juga romo-romo yang lain) maupun juga dari umat. Banyak ide dan pemahaman baru yang saya dapatkan karena mau mendengarkan. Mendengarkan dan belajar menjadi semangat hidup sehari-hari dalam pelayanan di Paroki Nandan, apalagi saat saya harus misa lingkungan atau mengisi Bincang Iman Santo Alfonsus (BISA). 

Saat mempersiapkan misa lingkungan atau BISA, saya sering merasa galau dan takut. Penyebabnya adalah saya takut salah menjelaskan atau tidak dapat pertanyaan yang muncul dari umat. Efek positifnya adalah saya mempersiapkan dengan lebih serius dengan banyak bertanya dan mencari dari banyak sumber tentang tema yang ada. Efek negatifnya adalah saya tidak percaya diri sehingga terkadang menjadi tidak jelas dalam menyampaikan bahan yang ada. Saat mendapat pertayaan pun, saya juga belum tentu bisa menjawab dan ini sering terjadi. Pada suatu waktu, saya justru mengetahui suatu hal dari penjelasan yang disampaikan oleh orang lain, baik romo maupun umat di Paroki Nandan. Meskipun demikian, kegalauan dan ketakutan tersebut saya syukuri sebagai bagian dari proses belajar. Salah satu modalnya adalah mau mendengarkan. 

Itulah sedikit pengalaman tentang proses belajar sebagai imam di Paroki Nandan. Saya bersyukur atas pengalaman pelayanan di Paroki Nandan. Banyak hal membentuk saya sebagai pribadi maupun imam dan sangat berguna dalam pelayanan saat ini. Semangat mendengarkan terus menjadi bagian dalam hidup sehari-hari. Terima kasih atas segala pelajaran yang boleh saya terima saat melayani di Paroki Nandan. Terima kasih kepada seluruh umat di Paroki Nandan atas berbagai masukan, ide dan pemahaman baru sehingga saya makin dikembangkan. Mari bersama-sama kita juga berani untuk mendengarkan Sabda Tuhan untuk bisa menjadi pewarta. Mari berani mendengarkan untuk bisa belajar. Matur nuwun.  V. Yudho Widianto, Pr

Posting Komentar

0 Komentar